(Bantahan terhadap Ust. Muhammad Ramli Idurs yang menuduh beliau mendukung Istighatsah )
الحمد لله والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى أله وأصحابه ومن تبعهم بالتوحبد الى يوم الميعاد أما بعد :
Karena keyakinan dianjurkannya Istighatsah kepada makhluk yang telah mengakar di dalam diri seorang ust. M.Ramli Idrus, iapun akhirnya memaksakan diri untuk mencari dan merangkai tulisan sebagai bekingan atas keyakinan itu, di antara yang telah ia tulis adalah sebuah status di laman FBnya yang ia beri judul:
IBNU TAIMIYAH MEMPERMALUKAN KAUM WAHABI YANG ANTI ISTIGHATSAH
Dan berikut tulisan Ust.M.Ramli Idrus selengkapnya:
Gambar tersebut ada scan dari kitab al-Kalim al-Thayyib, karya Ibnu Taimiyah, yang mengutip riwayat dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa ketika kaki beliau mati rasa, beliau beristighatsah dengan berkata, “Yaa Muhammad.”
Di bawahnya adalah scan dari kitab Qa’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah, karya Ibnu Taimiyah juga, mengutip riwayat dari sebagian ulama salaf, yang beristighatsah dengan Nabi SAW yang sudah wafat, ketika perutnya terserang penyakit yang tidak bisa disembuhkan.
Kaum Wahabi mengkafirkan orang yang beristighatsah. Apabila mereka konsisten dengan pandangan tersebut, harusnya mereka juga mengkafirkan Ibnu Taimiyah yang menganjurkan istighatsah, mengkafirkan Ibnu Umar, ulama salaf, Imam al-Bukhari dan ahli hadits yang beristighatsah atau menganjurkannya.
Semoga kaum Wahabi dapat hidayah dari Allah dan beristighatsah Amin.Kalau tidak mendapathidayah, semog aumat Islam diselamatkan dari fitnah dan keburukan kaum Wahabi. Amin.
Dengan beristighatsahhanya kepada Allah yang mahakuasa, maka berikut ini adalah sedikit tulisan untuk meluruskan tuduhan ust. M. Ramli atas Syaikhul Islam IbnuTaimiyyah, semoga Allah menetapkan kita semua di atas Tauhid hingga ajal menjemput.
Ust. M. Ramli Idrus berkata:
“harusnya mereka juga mengkafirkan Ibnu Taimiyah yang menganjurkan istighatsah”.
Dia hendak memojokkan Ahlussunnah Waljama’ah Assalafiy dengan cara membenturkan mereka dengan pendapat Syaikhul Islam, namun ternyata tipu daya ini hanya akan menjerat ust. M.Ramli sendiri, dan berikut pendapat Syaikhul Islam tentang Istighatsah :
Artinya: Maka adapun perkara yang tidak mampu diperbuat kecuali oleh Allah Ta’aala, maka tidak boleh memintanya kecuali kepada Allah yang maha suci, perkara tersebut tidak boleh diminta kepada para Malaikat, tidak kepada para nabi, dan tidak pula kepada selain mereka. Tidak boleh mengakatakan selain kepada Allah: “Ampunilah aku”, “curahkanlah kami hujan”, “tolonglah kami dari kaum yang kafir”, atau “tunjukkanlah hati kami”, dan yang semisalnya, dari itulah Al-Thabariy – Rahimahullah – di dalam kitab Mu’jamnya meriwayatkan: “Bahwasanya dulu pada zaman Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ada seorang munafik yang sering menyakiti kaum mukmin, maka berkatalah Al-Shiddiq: “Ayo kita bangkit berIstighatsah kepada Rasulullah dari orang yang munafik ini!” maka mereka pun akhirnya datang kepada nabi, maka nabi pun bersabda: ” sesungguhnya masalah ini tiadalah di Istighatsahkan denganku, namun hanya di Istighatsahkan dengan Allah “, dan (Hadits) ini dalam perkara meminta tolong sama seperti (hukum Istighatsah) itu.
Itulah ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitab Qaidah Jalilah Fittawassul Wal Wasilah yang sangat jelas melarang Istighatsah berdasarkan dengan dalil yang jelas dan benar, lalu bagaimanakah dengan M.Ramli Idris ini, apakah ia akan meralat tuduhannya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan berkata: “Ibnu Taimiyah yang menganjurkan istighatsah” ataukah bagaimana? Ia harus meralatnya kecuali jika malunya telah tertimbun oleh kebencian, dan ingatlah, jika engkau tidak malu maka berbuatlah sesukamu.
Ust. M.Ramli juga berkata:
” Gambar tersebut ada scan dari kitab al-Kalim al-Thayyib, karya Ibnu Taimiyah, yang mengutip riwayat dari Ibnu Umar radhiyallaahu ‘anhuma, bahwa ketika kaki beliau mati rasa, beliau beristighatsah dengan berkata, “Yaa Muhammad.”
Apakah benar terdapat kata : “Beliau beristighatsah” yang ia sandarkan kepada Abdullah Bin Umar – Radhiyallahu ‘Anhuma – , mari kita lihat konteks Haditsnya bersama:
عن الهيثم بن حنش قال : كنا عند عبد الله بن عمر رضي الله عنهما فخدرت رجله فقال له رجل : اذكر أحب الناس إليك فقال : يا محمد فكأنما نشط من عقال
Dari Al-Haitsam Bin Hansyi beliau beliau berkata: “konon kami berada di sisi Abdullah Bin Umar – Radhiyallahu ‘Anhuma – lalu kaki beliau mati rasa, maka seorang lelaki berkata kepadanya: “Sebutlah orang yang paling engkau cintai !, beliau berkata: “YaMuhammad” maka seolah-olah keadaannya seperti telah dibebaskan dari jeratan.
Ternyata kalimat “beliau beristighatsah” itu berasal dari kantongnya M.Ramli sendiri, semoga Allah memaafkannya, sebab setidaknya saya tahu bahwa kalimat ini rupanya suatu pemahaman yang ia petik dari kata Nidaa’ yaitu : kata yaa dari kalimat “Yaa Muhammad”, ia mengira bahwa makna “yaa” di sini adalah panggilan meminta tolong dan bantuan darurat, namun sayangnya pemahaman ini keliru karena dua Alasan:
1. Nidaa’ di sini sama sekali tidak bermakna panggilan Istighatsah karena seandainya maknanya demikian maka seharusnya lelaki yang menyeru Abdullah Bin Umar – radhiyallahu ‘Anhuma – untuk mengucapkan “ya Muhammad” akan berkata: “Istaghits“(beristighatsahlah), dan ternyata lelaki tersebut tidak mengucapkan kata itu, melainkan berkata: “Udzkur” (sebutlah). Ini menunjukkan menguatkan bahwa makna Nidaa’ di sini bukanlahNidaa’ istighatsah melainkan hanya menyebut nama orang yang dicintai saja.
2. Memanggil nama seorang yang paling dicintai konon adalah obat mati rasa di kalangan bangsa Arab pada masa Jahiliyyah, dan banyak contoh Syair mereka yang menceritakan kenyataan tersebut, di antaranya adalah perkataan seorang penyair:
وقال جميلُ بثينةَ:
وأنتِ لعَيْنِيْ قُرَّةٌ حين نَلْتَقِيْ *وذِكْرُكِ يَشفِيْني إذا خَدَرتْ رجلي
Berkata Jamil Butsainah :
Engkau di mataku adalah sesuatu yang indah ketika kita bertemu, dan apabila kakiku mati rasa maka menyebut namamu akan mengobatiku
وقال الموصلي:
واللهِ ما خَدَرَتْ رجلي وما عَثَرَتْ*إلا ذكرتُكِ حتى يَذْهبَ الخدَرُ
Al-Maushili berkata:
Demi Allah, tiadalah kakiku keram dan sakit, kecuali menyebutmu sehingga mati rasa itu sembuh.
Atas anggapan bahwa Nidaa’ di sini bermakna Istighatsah, lantas apakah para penyair ini ketika kaki mereka keram dan demi kesembuhannya kemudian mereka menyebut nama kekasihnya seraya beristighatsah kepada para wanita pujaan mereka tersebut? tentunya tidak.
Apakah setiap orang yang tertimpa penyakit wabilkhusus mati rasa jika ia menyebut nama orang yang paling ia cintai dan ternyata pemilik nama tersebut adalah orang fasiq atau kafir, maka akankah terjadi kesembuhan? betapa mustahilnya islam akan mengajarkan ummatnya memohon pertolongan darurat dari musibah (yang jalan kesembuhannya hanyalah Allah) kepada makhluk, apalagi kepada makhluk yang fasiq dan kafir. Maka dari sisi ini juga akan tertolak anggapan bahwa Nidaa’nya Abdullah Bin Umar –Radhiyallahu ‘Anhuma– dalam hadits ini adalah bermakna Istighatsah. Wallaahuaklam.
Ustadz M. Ramli juga berkata:
“Di bawahnya adalah scan dari kitab Qa’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah, karya Ibnu Taimiyah juga, mengutip riwayat dari sebagian ulama salaf, yang beristighatsah dengan Nabi SAW yang sudah wafat, ketika perutnya terserang penyakit yang tidak bisa disembuhkan.”
“Ulama salaf, yang beristighatsah dengan Nabi SAW yang sudah wafat”
Apakah benar apa yang dikatakannya? Mari kita tinjau bersama, tentang apakah yang dibahas oleh Syaikhul Islam sebenarnya dalam scan yang telah diterjemahkan oleh ust. M.Ramli, maka untuk jelasnya berikut perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
Artinya: Dan pada pembahasan bab ini juga terdapat beberapa cerita yang berasal dari sebagian orang, bahwasanya ia melihat di dalam mimpi ada yang berkata kepadanya: berdoalah dengan doa ini dan yang ini, maka mimpi seperti ini tidak boleh menjadi dalil berdasarkan kesepakatan para ulama, dan sungguh sebagian cerita-cerita ini telah disebutkan dari beberapa ulama dalam beberapa doa.
Dan telah diriwayatkan pada yang demikian itu suatu Atsar yang berasal dari sebagian salaf, seperti Atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abiddunya di dalam kitab Majabiddu’a, beliau berkata: Abu Haitsam telah mengatakan kepada kami: aku telah mendengar Katsir Bin Muhammad Bin katsir Bin Rifa’ah berkata: seorang lelaki datang kepada Abdul Malik Bin Sa’id Bin Abjar, tiba-tiba ia memegang perutnya, maka (Abdul malik) bertanya: sepertinya kamu terkena penyakit yang tiada akan sembuh. Lelaki itu berkata: penyakit apakah itu? Abdul Malik berkata: “Addubailah”, dan Katsir Bin Rifa’ah berkata: Maka orang itu pun pergi dan berkata: “Allah, Allah, Allah adalah tuhanku, tiadalah aku menyekutukannya dengan apapun, ya Allah sesungguhnya aku menghadap kepadamu dengan Nabimu Muhammad, yang adalah sebagai nabi Rahmah- Shallallahu ‘Alaihi Wasallam– , wahai muhammad sesunguhnya aku menghadap denganmu kepada tuhanmu dan tuhanku agar ia mengasihani diriku dari penyakit yang ada padaku.
Katsir Bin Rifa’ah berkata: maka lelaki itu meraba perutnya, dan Abdul malik berkata: sungguh telah sembuh penyakit yang ada pada dirimu.
Inilah riwayat yang menceritakan tentang sembuhnya penyakit perut seorang lelaki karena doanya kepada Allah yang disertai dengan bertawassul kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, lalu dari manakah ust. M.ramli menyimpulkan bahwa ada “Ulama salaf, yang beristighatsah dengan Nabi SAW yang sudah wafat” berdasarkan riwayat Atsar ini? Apakah ust. M.Ramli kurang teliti membedakan antara Istighatsah dan Tawassul?
Dan penting kita ingat kembali, bahwa Atsar di atas hanyalah contoh dari suatu cerita yang tidak pantas dijadikan sebagai dalil karena terbangun semata dari mimpi.
Setelah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menukilkan contoh cerita yang ternyata hanya berasal dari mimpi, beliau juga menggaris bawahi Atsar di atas, yakni tentang doa tawassul yang terkandung pada Atsar tersebut, beliau berkata:
Artinya: Aku katakan: jelasnya doa ini dan yang semisalnya, sebenarnya telah diriwayatkan bahwasanya generasi Salaf pernah berdoa dengannya, dan telah dinukilkan dari imam Ahmad Bin Hanbal di dalam kitab Mansakul Marudzi tentang Tawassul dengan nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam berdoa, dan sebagian ulama lainnya melarang akan hal ini.
Yang jelas apabila tujuan orang yang bertawassul itu adalah berwasilah dengan Iman kepadanya (Nabi), dengan mencintainya, dengan loyalitas penuh kepadanya, dan berwasilah dengan mentaatinya, maka sebenarnya tiadalah ada sengketa di antara kedua belah pihak, namun jika tujuan mereka yang bertawassul adalah berwasilah dengan diri nabi, maka hal inilah yang menjadi letak sengketa, dan perkara apa saja yang orang orang saling bersengketa padanya harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul.Dan bukanlah sekedar dari adanya doa yang dapat mewujudkan keinginan lantas akan menjadi suatu petunjuk atas bahwasanya hal itu terhitung boleh di dalam Syariat. Karena sebenarnyabanyak orang-orang yang berdoa kepada selain Allah seperti berdoa kepada bintang-bintang dan makhluk-makhluk lalu kemudian mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.
Itulah perkataan lengkap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang merincikan tentang Tawassul, tidak seperti yang dituduhkan oleh ust.M.Ramli –semoga Allah menunjukinya hidayah-. Siapa saja yang membaca kitab Qaidah Jalilah Fittawassul dan Wasilah dengan niat yang baik, insyaallah ia akan mendapatkan cahaya kebenaran. Amiin.
Ust. M. Ramli berkata:
“KaumWahabi mengkafirkan orang yang beristighatsah.Apabilamerekakonsistendenganpandangantersebut, harusnyamerekajugamengkafirkanIbnuTaimiyah yang menganjurkanistighatsah, mengkafirkanIbnu Umar, ulamasalaf, Imam al-Bukharidanahlihadits yang beristighatsahataumenganjurkannya.”
Bersambung…
Penulis: Ust. Musmulyadi Luqman, Lc.